Senin, 11 Juli 2011

kegaiban hati

Syaikh Abdul Qadir Zailani mengatakan bahwa apabila seorang hamba Allah
mengalami kesulitan hidup, maka pertama-tama ia mencoba mengatasinya
dengan upayanya sendiri. Bila gagal ia mencari pertolongan kepada
sesamanya, khususnya kepada raja, penguasa, hartawan; atau bila dia
sakit, kepada dokter. Bila hal ini pun gagal, maka ia berpaling kepada
Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan berdo'a
kepada-Nya dengan kerendah-hatian dan pujian. Bila ia mampu mengatasinya
sendiri, maka ia takkan berpaling kepada sesamanya, demikian pula bila
ia berhasil karena sesamanya, maka ia takkan berpaling kepada sang
Khaliq.

Kemudian bila tak juga memperoleh pertolongan dari Allah, maka
dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan terus demikian, mengemis,
berdo'a merendah diri, memuji, memohon dengan harap-harap cemas. Namun,
Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa membiarkan ia letih dalam berdo'a
dan tak mengabulkannya, hingga ia sedemikian terkecewakan terhadap
segala sarana duniawi. Maka kehendak-Nya mewujud melaluinya, dan hamba
Allah ini berlalu dari segala sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya
duniawi, dan bertumpu pada ruhaninya.

Pada peringkat ini, tiada terlihat olehnya, selain kehendak Allah Yang
Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan sampailah dia tentang Keesaan Allah,
pada peringkat haqqul yaqin (* tingkat keyakinan tertinggi yang
diperoleh setelah menyaksikan dengan mata kepala dan mata hati). Bahwa
pada hakikatnya, tiada yang melakukan segala sesuatu kecuali Allah; tak
ada penggerak tak pula penghenti, selain Dia; tak ada kebaikan,
kejahatan, tak pula kerugian dan keuntungan, tiada faedah, tiada memberi
tiada pula menahan, tiada awal, tiada akhir, tak ada kehidupan dan
kematian, tiada kemuliaandan kehinaan, tak ada
kelimpahan dan kemiskinan, kecuali karena ALLAH.

Maka di hadapan Allah, ia bagai bayi di tangan perawat, bagai mayat
dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain polo, berputar dan bergulir
dari keadaan ke keadaan, dan ia merasa tak berdaya. Dengan demikian, ia
lepas dari dirinya sendiri, dan melebur dalam kehendak Allah. Maka tak
dilihatnya kecuali Tuhannya dan kehendak-Nya, tak didengar dan tak
dipahaminya, kecuali Ia. Jika melihat sesuatu, maka sesuatu itu adalah
kehendak-Nya; bila ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka ia
mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat ilmu-Nya. Maka terkaruniailah
dia dengan karunia-Nya, dan beruntung lewat kedekatan dengan-Nya, dan
melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia, ridha, bahagia, dan puas dengan
janji-Nya, dan bertumpu pada firman-
Nya. Ia merasa enggan dan menolak segala selain Allah, ia rindu dan
senantiasa mengingat-Nya; makin mantaplah keyakinannya pada-Nya, Yang
Maha Besar lagi Maha Kuasa. Ia bertumpu pada-Nya, memperoleh petunjuk
dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya, dan termuliakan oleh ilmu-Nya. Yang
didengar dan diingatnya adalah dari-Nya. Maka segala syukur, puji, dan
sembah tertuju kepada-Nya.(nur halim)

0 komentar:

Posting Komentar